Template by:
Free Blog Templates

Minggu, 24 April 2011

PENDAHULUAN

Penyakit Hepatitis adalah penyakit yang disebabkan oleh beberapa jenis virus yang menyerang dan menyebabkan peradangan serta merusak sel-sel organ hati manusia. Hepatitis diketegorikan dalam beberapa golongan, diantaranya hepetitis A,B,C,D,E,F dan G.
Penyebab Hepatitis ternyata tak semata-mata virus. Keracunan obat, dan paparan berbagai macam zat kimia seperti karbon tetraklorida, chlorpromazine, chloroform, arsen, fosfor, dan zat-zat lain yang digunakan sebagai obat dalam industri modern, bisa juga menyebabkan Hepatitis. Zat-zat kimia ini mungkin saja tertelan, terhirup atau diserap melalui kulit penderita. Menetralkan suatu racun yang beredar di dalam darah adalah pekerjaan hati. Jika banyak sekali zat kimia beracun yang masuk ke dalam tubuh, hati bisa saja rusak sehingga tidak dapat lagi menetralkan racun-racun lain. Ada 3 kemungkinan tanggapan kekebalan yang diberikan oleh tubuh terhadap virus hepatitis B pasca periode akut. Kemungkinan pertama, jika tanggapan kekebalan tubuh adekuat maka akan terjadi pembersihan virus, pasien sembuh. Kedua, jika tanggapan kekebalan tubuh lemah maka pasien tersebut akan menjadi carrier inaktif. Ketiga, jika tanggapan tubuh bersifat intermediate (antara dua hal di atas) maka penyakit terus berkembang menjadi hepatitis B kronis.











PEMBAHASAN

A. Patologi dan Patogenesis
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh "Virus Hepatitis B" (VHB), suatu anggota famili Hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau menahun yang pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Mula-mula dikenal sebagai "serum hepatitis" dan telah menjadi epidemi pada sebagian Asia dan Afrika. Hepatitis B telah menjadi endemik di Tiongkok dan berbagai negara Asia.Apabila seseorang terinfeksi virus hepatitis B akut maka tubuh akan memberikan tanggapan kekebalan (immune response).
HBV merupakan virus DNA yang memiliki selubung permukaan (antigen permukaan) dan inti dalam (antigen inti). Pada hepatitis akut, biopsi hati menunjukan berbagai derajat kerusakan hepatoseluler dan infiltrat inflamasi. Antigen HBV diekspresikan pada permukaan hepatosit dan dapat reaktivitas seluler yang dimediasi oleh sel T untuk melawan antigen ini : reaksi ini diperkirakan menjadi penyebab utama kerusakan hepatosit. Antigen HBV juga telah diidentifikasi pada non hepatik dan dapat mewakili reservoir infeksi yang dapat menginfeksi kembali hati setelah transplantasi. Pasien dengan hipogamaglobulinemia dapat mengalami hepatitis akut yang menunjukan bahwa antibodi tidak berperan penting dalam kerusakan hati. Pada hepatitis kronik dapat terlihat berbagai derajat aktivitas histologis. Terdapat berbagai sistem untuk menilai keparahan elemen inflamasi, nekrosis, dan fibrosis (misalnya : metavir, ishak, dan kenodell). Ini memudahkan keputusan mengenai pengobatan yang obyektif. Hepatitis kronik dapat bervariasi mulai dari sangat ringan dengaan nekroinflamasi minimal (inflamasi limfositik zona porta namun tanpa bukti nekrosis jembatan, arsitektur yang berubah) dan tanpa bukti fibrosis (hepatitis kronik persisten, (cronik persistent hepatitis, CPH)), hingga penyakit sangat aktif dengan nekroinflamasi yang jelas (hepatitis kronik aktif, (cronik active hepatitis, CAH)), hingga sirosis menyeluruh. Penyakit ringan umumnya nonprogresif dimana nekroinflamasi aktif dapat berkembang menjadi sirosis atau hematoma. Hepatitis kronik berakaitan dengan karier hepatitis B kronik dan integrasi virus kedalam kromosom.
Antigen permukaan HBV : antigen ini ditemukan pada permukaan virus dan pada partikel sferis serta bentuk tubuler yang tidak melekat. Adanya antigen ini menunjukan infeksi akut atau karier kronik (didefinisikan sebagai >6 bulan). Antiobodi terhadap antigen permukaaan ini akan terjadi setelah infeksi alamiah atau dapat ditimbulkan oleh imunisasi.
Antigen inti HBV : antigen ini ditemukan dalam inti virus namun tidak terdeteksi dalam darah. Antibodi inti IgG berguna dalam membedakan antara infeksi HBV akut dengan hepatitis bentuk lain pada seseorang karier HBV (misalnya virus delta) dan pada sedikit pasien menyingkirkan antigen permukaanya dengan sangat cepat antibodi IgM tetap positif selama 12 minggu.
Antigen ‘e’ HBV : antigen ini merupakan bagian dari antigen inti. Antigen ini ditemukan pada infeksi akut dan pada beberapa karier kronik. Adanya antigen ini merupakan penanda aktivitas dan infektivitas virus yang mendasari. Antibodi terhadap antigen ini menunjukan derajat infektivitas yang lebih rendah pada pasien kronik.
DNA HBV : ini sejalan dengan replikasi virus DNA ini ditemukan pada hepatitis akut dan karier kronik dengan penyakit aktif.


B. Epidemologi
Di seluruh dunia ,HBV merupakan penyebab penyakit karena menyebabkan penyakit hati kronik dan hepatoma.Terdapat 10000 infeksi HBV baru/tahun yang didapati di Inggris ,resiko seumur hidup untuk hepatitis B adalah 5 %.Seiring terjadi infeksi anikterik (4:1)5 – 10 % pasien gagal untuk sembuh dari infeksi dan menjadi karier.Hal ini lebih mungkin pada orang dengan imunitas yang terganggu.
Perkiraan angka karier di Inggris adalah 0,1%.pada area tertentu di dunia angka karier dapat melampaui 25% (kepulauan Pasifik,Thailand,Senegal), dan di daerah lain kira-kira 5-10% (area yamg luas di subbenua India, Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa bagian timur). Diperkirakan bahwa hampir 200 juta orang di seluruh dunia adalah karier.
Penularan terjadi malalui darah atau cairan tubuh yang masuk melalui suntikan atau pajanan ke membran mukosa. Karena itu, infeksi bisa di dapat dari produk darah, jarum ,alat-alat kedokteran yang terkontaminasi , dan gaya hidup seperti pembuatan tato. Infeksi juga bisa di dapat melalui hubungan seksual. Pada sumber infeksi yang tidak dapat diidentifikasi.

Virus dapat diidentifikasi di dalam sebagian besar cairan tubuh: saliva, cairan (misalnya asites). Bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi dapat memperoleh infeksi saat lahir. Untuk ibu HBVeAg-positif,maka resikonya 15%. Ini merupakan cara penularan utama di daerah Timur Jauh dimana penularan secara horizontal pada anak-anak berperan penting dalam transmisi penyakit di Afrika. Ini merupakan penjelasan utama mengapa jumlah karier pada suatu populasi tinggi. Sebagian kecil anak-anak mengalami infeksi in utero.
Angka infeksi dan karier lebih tinggi pada kelompok tertutup dimana darah atau cairan tubuh lainnya disuntikan, ditelan ,atau dipajankan ke membran mukosa. Jadi anak-anak dalam panti cacat mental, pasien hemodialisis, penyalaha guna obat intravena (intravenous drug user, IVDU), dan pria yang melakukan hubungan seks dengan pria memiliki angka karier lebih tinggi (5-20%). Wabah dapat terjadi dalam kelompok ini dan melalui ahli bedah dan dokter gigi yang terinfeksi.
Beberapa genotipe yang ada tampaknya tidak memiliki pengaruh pada proses penyakit. Varian molekuler juga umum terjadi. Varian ini merupakan strain yang tidak mengekspresikan protein tertentu sebagaia akibat mutasi genetik kunci. Mutan precore tidaak mengekspresikan antigen ‘e’ namun dapat dikenali oleh titer DNA HBV serum yang tinggi. Progesi penyakit terjadi secara cepat dan strain kurang responsif terhadap α-interferon.
Dapat terjadi infeksi ganda dengan agen delta (HDV) dan merupakan khusus pada pengguna obat suntik.
Masa inkubasi 2-6 bulan

C. Manifestasi Klinis
Gejala penyakit ini sulit dibedakan dari HAV.
• Onset biasanya perlahan, dengan demam ringan anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut bagian atas, mual dan muntah, tidak nyaman saat merokok.
• Setelah 2-6 hari urin menjadi gelap, tinja menjadi lebih pucat, dan timbul icterus.
• Sindrom demam, artralgia atau artritis, dan ruam urtikaria atau makulopapular terjadi apada 10% pasien sebelum onset icterus. Pada anak-anak, sindrom ini mungkin lebih jelas dan disebut akrodermatitis papular (sindrom GIANOTTI).
• Biasa terjadi hematomegali yang nyeri tekan adaan licin serta spenomegali pada 15% kasus.
• Pasien dengan infeksi kronis dan inflamasi hati aktif cenderung mengalami gejala konstitusi ringan seperti kelelahan. Bila diagnosis sirosis telah ditegakan, maka gejala stigmata penyakit hati kronik dapat diobsevasi.

Apabila seseorang terinfeksi virus hepatitis B akut maka tubuh akan memberikan tanggapan kekebalan (immune response). Pada kemungkinan pertama, tubuh mampu memberikan tanggapan adekuat terhadap virus hepatitis B (VHB), akan terjadi 4 stadium siklus VHB, yaitu fase replikasi (stadium 1 dan 2) dan fase integratif (stadium 3 dan 4). Pada fase replikasi kadar HBsAg (hepatitis B surface antigen), HBV DNA, HBeAg (hepatitis Be antigen), AST (aspartate aminotransferase) dan ALT (alanine aminotransferase) serum akan meningkat, sedangkan kadar anti-HBs dan anti HBe masih negatif. Pada fase integratif (khususnya stadium 4) keadaan sebaliknya terjadi, HBsAg, HBV DNA, HBeAg dan ALT/AST menjadi negatif/normal, sedangkan antibodi terhadap antigen yaitu : anti HBs dan anti HBe menjadi positif (serokonversi). Keadaan demikian banyak ditemukan pada penderita hepatitis B yang terinfeksi pada usia dewasa di mana sekitar 95-97% infeksi hepatitis B akut akan sembuh karena imunitas tubuh dapat memberikan tanggapan adekuat.
Sebaliknya 3-5% penderita dewasa dan 95% neonatus dengan sistem imunitas imatur serta 30% anak usia kurang dari 6 tahun masuk ke kemungkinan ke dua dan ke tiga; akan gagal memberikan tanggapan imun yang adekuat sehingga terjadi infeksi hepatitis B persisten, dapat bersifat carrier inaktif atau menjadi hepatitis B kronis.
Tabel 1 menunjukkan makin dini terinfeksi VHB risiko menetapnya infeksi hepatitis B makin besar. Tanggapan imun yang tidak atau kurang adekuat mengakibatkan terjadinya proses inflamasi jejas (injury), fibrotik akibat peningkatan turnover sel dan stres oksidatf. Efek virus secara langsung, seperti mutagenesis dan insersi suatu protein x dari virus hepatitis B menyebabkan hilangnya kendali pertumbuhan sel hati dan memicu transformasi malignitas, sehingga berakhir sebagai karsinoma hepatoseluler


Tabel 1. Hubungan umur saat terjadi infeksi HBV dengan menetapnya infeksi tersebut
Umur (tahun) Jumlah individu diteliti Jumlah individu dengan infeksi HBV menetap

>1 170 131 (77%)
1-10 175 75 (43%)
20-30 324 23 (7%)
Keterangan : HBV (hepatitis B virus)

D. Komplikasi
Hepatik
• Hepatitis fulminan
• CAH, CPH, sirosis
• Hepatitis kolestatik dan hepatitis relaps
• Hepatoma.

Ekstrahepatik
• Anemia aplastik, anemia hemolitik, trombositopenia
• Sindrom Guillain-Barre (Guillain-Barre Syndrome, GBS) encefalomielitis (jarang)
• Glomerulonefritis ,vaskulitis.
Pada 90% kasus ,penyakit jinak dan pemulihan sempurna terjadi setelah 2-4 minggu. Hepatitis fulminan lebih sering terjadi pada hepatitis B(1,0%) dibandingkan hepaitis A (0,1%) namun masih jarang ;keadaan ini masih terkait dengan infeksi oleh mutasi pre-S dalam genom antigen permukaan HBV dan dengan koinfeksi akut serta super infeksi oleh virus delta (HDV). Karier kronik terjadi pada 10% kasus dan terkait dengan hepatitis kronik ringan (70%) atau aktif (30%) pada biopsi HT. Progresi ke arah sirosis atau hepatoma terjadi pada 25-30% karier kronik ; ini lebih mungkin terjadi pada pasien dengan tingkat replikasi yang tinggi (karier antigen E atau kadar DNA HBV yang tinggi).HBV telah dianggap menjadi penyebab pada beberapa pasien dengan glomerulonefritis membranosa dan vaskulitis.



E. Diagnosis
Hepatitis B kronis merupakan penyakit nekroinflamasi kronis hati yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B persisten. Hepatitis B kronis ditandai dengan HBsAg positif (> 6 bulan) di dalam serum, tingginya kadar HBV DNA dan berlangsungnya proses nekroinflamasi kronis hati (Tabel 2). Carrier HbsAg inaktif diartikan sebagai infeksi HBV persisten hati tanpa nekroinflamasi. Sedangkan hepatitis B kronis eksaserbasi adalah keadaan klinis yang ditandai dengan peningkatan intermiten ALT >10 kali batas atas nilai normal (BANN).
Diagnosis infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan serologi, petanda virologi, biokimiawi dan histologi. Secara serologi pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis dan evaluasi infeksi hepatitis B kronis adalah : HBsAg, HBeAg, anti HBe dan HBV DNA.
Adanya HBsAg dalam serum merupakan petanda serologis infeksi hepatitis B. Titer HBsAg yang masih positif lebih dari 6 bulan menunjukkan infeksi hepatitis kronis. Munculnya antibodi terhadap HBsAg (anti HBs) menunjukkan imunitas dan atau penyembuhan proses infeksi. Adanya HBeAg dalam serum mengindikasikan adanya replikasi aktif virus di dalam hepatosit. Titer HBeAg berkorelasi dengan kadar HBV DNA. Namun tidak adanya HBeAg (negatif) bukan berarti tidak adanya replikasi virus, keadaan ini dapat dijumpai pada penderita terinfeksi HBV yang mengalami mutasi (precore atau core mutant).
Penelitian menunjukkan bahwa pada seseorang HBeAg negatif ternyata memiliki HBV DNA > 105 copies/ml. Pasien hepatitis kronis B dengan Hbe Ag negatif yang banyak terjadi di Asia dan Mediterania umumnya mempunyai kadar HBV DNA lebih rendah (berkisar 104-108 copies/ml) dibandingkan dengan tipe HBeAg positif. Pada jenis ini meskipun HBeAg negatif, remisi dan prognosis relatif jelek, sehingga perlu diterapi.
Tabel.2 Definisi dan kriteria diagnostik pasien dengan infeksi hepatitisB

Keadaan Definisi Kriteria Diagnostik
Hepatitis B
kronis
Proses nekro-inflamasi
kronis hati disebabkan oleh
infeksi persisten virus
hepatitis B.
Dapat dibagi menjadi
hepatitis B kronis dengan
HBeAg + dan HBeAg -
1.HBsAg + > 6 bulan
2.HBV DNA serum > 105 copies/ml
3.Peningkatan kadar ALT/AST secara berkala/persisten
4.Biopsi hati menunjukkan hepatitis kronis (skor nekroinflamasi > 4)

Carrier
HBsAg
inaktif
Infeksi virus hepatitis B
persisten tanpa disertai
proses nekro-inflamasi
yang signifikan
1.HBsAg + > 6 bulan
2.HBeAg - , anti HBe +
3.HBV DNA serum < 105 copies/ml 4.Kadar ALT/AST normal 5.Biopsi hati menun- jukkan tidak adanya hepatitis yang signi- fikan (skor nekro- inflamasi < 4) Setelah penyesuaian terhadap usia, sex, keberadaan antibodi terhadap virus hepatitis C, status merokok dan penggunaan alkohol, risiko relatif karsinoma hepatoselular sebesar 9,6 (95%CI: 6,0-15,2) pada kelompok HBsAg positif saja, dan sebesar 60,2 (95% CI: 35,5-102,1) pada kelompok dengan HBsAg dan HBeAg positif. Secara serologi infeksi hepatitis persisten dibagi menjadi hepatitis B kronis dan keadaan carrier HBsAg inaktif (Tabel 2). Yang membedakan keduanya adalah titer HBV DNA, derajat nekroinflamasi dan adanya serokonversi HBeAg. Sedangkan hepatitis kronis B sendiri dibedakan berdasarkan HBeAg, yaitu hepatitis B kronis dengan HBeAg positif dan hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif. Pemeriksaan virologi untuk mengukur jumlah HBV DNA serum sangat penting karena dapat menggambarkan tingkat replikasi virus. Ada beberapa persoalan berkaitan dengan pemeriksaan kadar HBV DNA. Pertama, metode yang digunakan untuk mengukur kadar HBV DNA. Saat ini ada beberapa jenis pemeriksaan HBV DNA, yaitu : branched DNA, hybrid capture, liquid hybridization dan PCR. Dalam penelitian, umumnya titer HBV DNA diukur menggunakan amplifikasi, seperti misalnya PCR, karena dapat mengukur sampai 100-1000 copies/ml. Kedua, beberapa pasien dengan hepatitis B kronis memiliki kadar HBV DNA fluktuatif. Ketiga, penentuan ambang batas kadar HBV DNA yang mencerminkan tingkat progresifitas penyakit hati. Salah satu kepentingan lain penentuan kadar HBV DNA adalah untuk membedakan antara carrier hepatitis inaktif dengan hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif : kadar<105 copies/ml lebih menunjukkan carrier hepatitis inaktif. Saat ini telah disepakati bahwa kadar HBV DNA>105 copies/ml merupakan batas penentuan untuk hepatitis B kronis
Salah satu pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan keputusan terapi adalah kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan adanya aktifitas nekroinflamasi. Oleh karena itu pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai prediksi gambaran histologi. Pasien dengan kadar ALT yang meningkat menunjukkan proses nekroinflamasi lebih berat dibandingkan pada ALT yang normal. Pasien dengan kadar ALT normal memiliki respon serologi yang kurang baik pada terapi antiviral. Oleh sebab itu pasien dengan kadar ALT normal dipertimbangkan untuk tidak diterapi, kecuali bila hasil pemeriksaan histologi menunjukkan proses nekroinflamasi aktif.Tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat kerusakan hati, menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan menentukan manajemen anti viral. Ukuran spesimen biopsi yang representatif adalah 1-3 cm (ukuran panjang) dan 1,2-2 mm (ukuran diameter) baik menggunakan jarum Menghini atau Tru-cut. Salah satu metode penilaian biopsi yang sering digunakan adalah dengan Histologic Activiy indeks score.


F. Pengobatan
Hepatitis B akut
• Tirah baring merupakan pengobatan utama
• Pada kasus fulminan diperlukan perawatan intensif
• Transplantasi hati dapat mengalami komplikasi akibat kemungkinan reinfeksi cangkok (Graft) dari lokasi ekstra hepatik.


Hepatitis B kronik
Tujuan terapi hepatitis B kronis adalah untuk mengeliminasi secara bermakna replikasi VHB dan mencegah progresi penyakit hati menjadi sirosis yang berpotensial menuju gagal hati, dan mencegah karsinoma hepatoselular. Sasaran pengobatan adalah menurunkan kadar HBV DNA serendah mungkin, serokonversi HBeAg dan normalisasi kadar ALT. Sasaran sebenarnya adalah menghilangnya HBsAg, namun sampai saat ini keberhasilannya hanya berkisar 1-5%, sehingga sasaran tersebut tidak digunakan.

Tabel . 3 Penilaian respon terapi hepatits B kronis
Respon terapi
Keterangan
1.Biokimiawi
2.Virologi


3.Histologi


4.Respon komplit
Penurunan kadar ALT menjadi normal
Kadar HBV DNA menurun / tidak terdeteksi
(<105 copies/ml) HbeAg + menjadi HbeAg ¬ Pada pemeriksaan biopsi hati, indeks aktifitas histologi menurun paling tidak 2 angka dibandingkan sebelum terapi Terpenuhinya kriteria : biokimiawi, virologi dan menghilangnya HbsAg Tabel 4. Rekomendasi terapi hepatitis B kronis HBeAg HBV DNA (>105 copies/ml) ALT Strategi
Pengobatan

+


+















-

















-

±





±
+


+















+

















-

+





-
2 x BANN


> 2 x BANN















> 2 x BANN

















2 x BANN

Sirosis hati





Sirosis hati Efikasi terhadap terapi rendah
Observasi, terapi bila ALT meningkat.

Mulai terapi dengan : interferon alfa, lamivudin atau adefovir.
End point terapi : serokonversi HBeAg dan timbulnya anti Hbe.
Durasi terapi :
•Interferon selama 16 minggu.
•Lamivudin minimal 1 tahun, lanjutkan 3-6 bulan setelah terjadi serokonversi HbeAg.
•Adefovir minimal 1 tahun.
Bila tidak memberikan respon/ada kontraindikasi, interferon diganti lamivudin / adefovir.
Bila resisten terhadap lamivudin, berikan adefovir.

Mulai terapi dengan : interferon alfa, lamivudin atau adefovir. Interferon atau adefovir dipilih mengingat kebutuhan perlunya terapi jangka panjang.
End point terapi : normalisasi kadar ALT dan HBV DNA (pemeriksaan PCR) tidak terdeteksi.
Durasi terapi :
•Interferon selama satu tahun.
•Lamivudin selama > 1 tahun.
•Adefovir selama > 1 tahun.
Bila tidak memberikan respon/ ada kontraindikasi interferon diganti lamivudin / adefovir.
Bila resisten terhadap lamivudin, berikan adefovir.

Tidak perlu terapi

Terkompensasi : lamivudin atau adefovir.
Dekompensasi : lamivudin (atau adefovir), interferon kontraindikasi, transplantasi hati.

Terkompensasi : observasi
Dekompensasi : rujuk ke pusat transplantasi hati.
Sesuai dengan rekomendasi the American Association for the Study of Liver Disease terapi diberikan pada penderita hepatitis B kronis, dengan syarat : (1). HBeAg positif dan HBV DNA>105 copies/ml dan kadar ALT>2 batas atas angka normal. (2). HBeAg positif dan HBV DNA>105 copies/ml dan kadar ALT< 2 batas atas angka normal tidak perlu terapi, hanya perlu dievaluasi setiap 6-12 bulan, kecuali bila pemeriksaan histologi menunjukkan adanya nekroinflamasi tingkat sedang sampai berat (3). HBeAg negatif dan HBV DNA>105 copies/ml dan kadar ALT>2 batas atas angka normal. (4). Penderita sirosis hati dengan HBV DNA >105 copies/ml (Tabel 4). Saat ini, ada 5 jenis obat yang direkomendasikan untuk terapi hepatitis B kronis di Amerika Serikat, yaitu : interferon alfa-2b, lamivudin, adefovir dipivoxil, entecavir dan peginterferon alfa-2a . Hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan pilihan obat adalah; keamanan jangka panjang, efikasi dan biaya. Walaupun saat ini pilihan terapi hepatitis B kronis menjadi lebih banyak, namun persoalan yang masih belum terpecahkan adalah problem resistensi obat dan tingginya angka relaps saat terapi dihentikan.
Sesuai dengan rekomendasi the American Association for the Study of Liver Disease terapi diberikan pada penderita hepatitis B kronis, dengan syarat :
(1). HBeAg positif dan HBV DNA>105 copies/ml dan kadar ALT>2 batas atas angka normal.
(2). HBeAg positif dan HBV DNA>105 copies/ml dan kadar ALT< 2 batas atas angka normal tidak perlu terapi, hanya perlu dievaluasi setiap 6-12 bulan, kecuali bila pemeriksaan histologi menunjukkan adanya nekroinflamasi tingkat sedang sampai berat (3). HBeAg negatif dan HBV DNA>105 copies/ml dan kadar ALT>2 batas atas angka normal. (4). Penderita sirosis hati dengan HBV DNA >105 copies/ml .
INTERFERON
Interferon tidak memiliki khasiat antivirus langsung tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antivirus. Berdasarkan studi meta analisis yang melibatkan 875 pasien hepatitis B kronis dengan HBeAg positif: serokonversi HBeAg terjadi pada 18%, penurunan HBV DNA terjadi pada 37% dan normalisasi ALT terjadi pada 23% . Salah satu kekurangan interferon adalah efek samping dan pemberian secara injeksi. Dosis interferon 5-10 juta MU 3 kali / minggu selama 16 minggu

LAMIVUDIN
Lamivudin merupakan antivirus melalui efek penghambatan transkripsi selama siklus replikasi virus hepatitis B. Pemberian lamivudin 100 mg/hari selama 1 tahun dapat menekan HBV DNA, normalisasi ALT, serokonversi HBeAg dan mengurangi progresi fibrosis secara bermakna dibandingkan plasebo. Namun lamivudin memicu resistensi. Dilaporkan bahwa resistensi terhadap lamivudin sebesar lebih dari 32% setelah terapi selama satu tahun dan menjadi 57% setelah terapi selama 3 tahun.

Risiko resistensi terhadap lamivudin meningkat dengan makin lamanya pemberian. Dalam suatu studi di Asia, resistensi genotip meningkat dari 14% pada tahun pertama pemberian lamivudin, menjadi 38%, 49%, 66% dan 69% masing masing pada tahun ke 2,3,4 dan 5 terapi

ADEFOVIR
Adefovir merupakan analog asiklik dari deoxyadenosine monophosphate (dAMP), yang sudah disetujui oleh FDA untuk digunakan sebagai anti virus terhadap hepatitis B kronis. Cara kerjanya adalah dengan menghambat amplifikasi dari cccDNA virus. Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 10 mg/hari oral paling tidak selama satu tahun.
Marcellin et al (2003) melakukan penelitian pada 515 pasien hepatitis B kronis dengan HBeAg positif yang diterapi dengan adefovir 10mg dan 30mg selama 48 minggu dibandingkan plasebo. Disimpulkan bahwa adefovir memberikan hasil lebih baik secara signifikan (p<0,001) dalam hal : respon histologi, normalisasi ALT, serokonversi HBeAg dan penurunan kadar HBV DNA. Keamanan adefovir 10 mg sama dengan plaseboHadziyanmis et al memberikan adefovir pada penderita hepatitis B kronis dengan HbeAg negatif. Pada pasien yang mendapatkan 10 mg adefovir terjadi penurunan HBV DNA secara bermakna dibandingkan plasebo, namun efikasinya menghilang pada evaluasi minggu ke 48. Pada kelompok yang medapatkan adefovir selama 14 minggu efikasinya dapat dipertahankan dengan resistensi sebesar 5,9%. Kelebihan adefovir dibandingkan lamivudin, di samping risiko resistennya lebih kecil juga adefovir dapat menekan YMDD mutant yang resisten terhadap lamivudin. ANALOG NUCLEOTIDE LAINNYA Di samping entecavir, saat ini beberapa obat antivirus sedang dalam tahap penelitian, seperti : telbivudine, emtricitabine, clevudine dan LB 80380 (ANA 380). Berdasarkan studi acak buta, telbivudine 400-800 mg selama 52 minggu dapat menurunkan HBV DNA sampai 6 logs, dan risiko timbulnya mutasi YMDD turun sebesar 4,9%. Emtricitabine yang merupakan derivat lamivudin, mempunyai potensi dan peluang yang hampir sama dengan lamivudin dalam memicu terjadinya mutasi YMDD. Clevudine yang merupakan analog pirimidin, sedang dalam studi fase II. Pemberian clevudine 100-200 mg/hari selama 28 hari dapat menurunkan 3 logs HBV DNA. G. Pencegahan Ada 2 bentuk perlindungan yang tersedia : imunisasif pasif hiperimunoglobulin terhadap hepatitis B dan imunisasif aktif dengan vaksin. • Vaksin diindikasikan untuk bayi baru lahir yang ibunya memiliki antigen permukaan HBV positif dan pekerja kesehatan pascapajanan yang sebelumnya tidak diimunisasi. Jadwal vaksinasi standart adalah bulan 0,1,6 : booster diberikan pada orang yang tidak membentuk antibodi permukaan HBV atau (HBV ‘s’ Ab) pada 6-8 minggu setelah melengkapi paket vaksinasi. Paket yang dipercepat dapat diberikan dalam situasi pasca pajanan(minggu 0,2,4,dan8). • Hiperimunoglobulin diindikasikan pada bayi baru lahir dari ibu yang merupakan karier antigen permukaan hepatitis B yang juga antigen ‘e’ HBV positif atau antibodi ‘e’ HBV(HBV ‘e’ Ab ) negatif.pada contoh yang serupa, hiperimonoglobulin juga diidikasikan setelah [pajanan untuk pekerja kesehatan yang tidak diimunisasi. • Imunisasi rutin pada kelompok berisiko juga penting. Kelompok ini termasuk semua pekerja kesehatan, penghuni dan pekerja pada institusi untuk orang cacat metal, dan consort serta anggota keluarga dari karier antigen ‘e’ HBV positif. • Tidak memperbolehkan orang-orang beresiko menjadi donor darah. • Screening untuk antigen permukaan HBV • Interferon dosis rendah telah terlihat dapat mengurangi insidensi hepatoma pada pasien dengan sirosis. H. Prognosis Mortilitas keseluruhan dari HBV akut adalah 1-3 %, namun 25-30% pasien karier kronik akan mengalami hepatitis kronik dengan nekroinflamasi, 25% dari pasien tersebut akan mengalami sirosis dan atau hepatoma. Medien harapan hidup setelah onset sirosis dekompensata adalah kuarang dari 5 tahun dan 1-3% berkembang menjadi hepatoma setiap tahun. KESIMPULAN 1. Makin dini terinfeksi VHB risiko menetapnya infeksi hepatitis B makin besar. 2. Diagnosis, evaluasi dan keputusan pemberian terapi anti virus didasarkan pada pemeriksaan serologi, virologi, kadar ALT dan pemeriksaan biopsi hati. 3. Pasien hepatitis B kronis yang belum mendapatkan terapi (HBeAg positif dan HBV DNA > 10
4. copies/ml dan kadar ALT normal) dan pasien carrier HBsAg inaktif perlu di evaluasi secara berkala.
Saat ini ada 5 jenis obat yang direkomendasikan untuk terapi hepatitis B kronis, yaitu : interferon alfa-2b, lamivudin, adefovir dipivoxil, entecavir dan peginterferon alfa-2a. Hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan pilihan obat adalah keamanan jangka panjang, efikasi dan biaya.
HIPERSENSITIFITAS
Hipersensitivitas atau yang biasa disebut reaksi hipersensitivitas adalah reaksi berlebihan, tidak diinginkan yang dapat merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat fatal yang dihasilkan oleh sistem kekebalan normal. Berdasarkan mekanisme dan waktu yang dibutuhkan untuk reaksi, hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe: tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Penyakit tertentu dapat dikarenakan satu atau beberapa jenis reaksi hipersensitivitas.
Hipersensitivitas Tipe III ( Reaksi Kompleks Imun )
Kompleks imun terbentuk setiap kali antibody bertemu dengan antigen, tetapi dalam keadaan normal pada umumnya kompleks ini segera disingkirkan secara efektif oleh jaringan retikuloendotel, tetapi ada kalanya pembentukan kompleks imun menyebabkan reaksi hipersensitivitas.
Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis besar dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :
1. Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody yang lemah, menimbulakn pembentukan kompleks imun kronis yang dapat mengendap di berbagai jaringan.
2. Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi secara terus menerus yang berikatan dengan jaringan self.
3. Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru – paru, akibat terhirupnya antigen secara berulang kali.

Pemaparan pada antigen dalam jangka panjang dapat merangsang pembentukan antibody yang umumnya tergolong IgG dan bukan IgE seperti halnya pada reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada reaksi hipersensitivitas tipe III, antibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen antibodi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sistem komplemen, menyebabkan pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks. Dilain pihak proses itu juga merangsang PMN sehingga sel–sel tersebut melepaskan isi granula berupa enzim proteolitik diantaranya proteinase, kolegenase, dan enzim pembentuk kinin. Apabila kompleks antigen-antibodi itu mengendap dijaringan, proses diatas bersama–sama dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak jaringan sekitar kompleks. Reaksi ini dapat terjadi saat terdapat banyak kapiler twisty (glomeruli ginjal, kapiler persendian).
Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja bergantung pada jumlah absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung pada perbandingan relatif antara kadar antigen dengan antibodi. Dalam suasana antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi yang ditimbulkannya adalah kelainan setempat infiltrasi hebat dari sel – sel PMN, agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan edema. Reaksi ini disebut Reaksi Arthus.
Agregasi trombosit dapat meningkatkan penglepasan vasoactive-amine atau mungkin juga menimbulkan mikrotumbus yang berakibat iskemia local. Dalam suasana antigen yang berlebih, kompleks yang terbentuk adalah kompleks yang larut dan beredar dalam sirkulasi serum sickness atau terperangkap di berbagai jaringan diseluruh tubuh dan menimbulkan reaksi inflamasi setempat seperti pada glomerulo-nefritis dan arthritis. Tempat pengendapan kompleks yang berbeda dapat memunculkan manifestasi klinis yang berbeda pula.
Meskipun demikian, pengendapan setempat juga dapat menimbulkan reaksi inflamasi sistemik seperti:
1. Demam, nyeri, malaise
2. Gatal, edema
3. Pengurangan komplemen di dalam darah
4. Glomerulonephritis (ginjal)
5. Arthritis (persendian)
6. Rheumatik penyakit jantung



Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
A. Ukuran kompleks imun
Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit, kompleks imun harus mempunyai ukuran yang sesuai. Kompleks imun berukuran besar biasanya dapat disingkirkan oleh hepar dalam waktu beberapa menit, tetapi kompleks imun berukuran kecil dapat beredar dalam sirkulasi untuk beberapa waktu. Ada dugaan bahwa efek genetic yang memudahkan produksi antibody dengan afinitas rendah dapat menyebabkan pembentukan kompleks imun berukuran kecil, sehingga individu bersangkutan mudah menerima penyakit kompleks imun.
B. Kelas imunoglobulin
Pembersihan (clearance) kompleks imun juga dipengaruhi oleh kelas immunoglobulin yang membentuk kompleks. Kompleks IgG mudah melekat pada eritrosit dan dikeluarkan secara perlahan–lahan dari sirkulasi, tetapi tidak demkian halnya dengan IgA yang tidak mudah melekat pada eritrosit dan dapat disingkirkan cepat dari sirkulasi, dengan kemungkinan pengendapan dalam berbagai jaringan misalnya ginjal, paru-paru, dan otak.
C. Aktivasi Komplemen
Salah satu factor penting lain yang turut menentukan manifestasi klinik adalah berfungsinya aktivasi komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi komplemen melalui jalur klasik dapat mencegah penegendapan kompleks imun karena C3b yang terbentuk dapat menghambat pembentukan kompleks yang besar. Kompleks yang terikat pada C3b akan melekat pada eritrosit melalui reseptor C3b, lalu dibawa ke hepar mana kompleks itu dihancurkan oleh makrofag. Bila system ini terganggu, misalnya pada defisiensi komplemen, maka kompleks diatas akan membentuk kompleks yang berukuran besar dan memungkinkan ia terperangkap diberbagai jaringan atau organ. Telah diketahui bahwa kompleks imun yang paling merusak apabila ia mengendap atau terperangkap dalam jaringan.
D. Permeabilitas pembuluh darah
Yang paling penting dalam kompleks imun adalah peningkatan permeabilitas vaskular. Peningkatan permeabilitas vascular dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya oleh peningkatan pelepasan vasoactive amine. Semua hal yang berkaitan dengan penglepasan substansi ini harus dipertimbangkan, misalnya komplemen, mastosit, basofil, dan trombosit yang dapat memberikan kontribusinya pada peningkatan permeabilitas vascular.
E. Proses hemodinamik
Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-tempat dengan tekanan darah tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks imun mengnedap dalam glomerulus dimana tekanan darah meningkat hingga 4 kali dan dalam dinding percabangan arteri dan ditempat-tempat terjadinya filtrasi, seperti pada pleksus choroids dimana tempat turbelensi.
F. Afinitas antigen pada jaringan
Ada beberapa jenis kompleks imun yang memilih mengendap di tempat – tempat tertentu, misalnya untuk SLE, sasaran pengendapan kompleks imun adalah ginjal. Pada arthritis rheumatoid kompleks imun lebih suka mengendap dalam sendi dan walaupun selalu ada kompleks imun dalam sirkulasi, ia tidak mengendap di ginjal. Hal ini ditentukan oleh afinitas antigen terhadap organ tetentu.

Prekursor umum reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
1. Sensitisasi sel B dengan sejumlah besar antigen disajikan dalam waktu lama
2. Infusi intravena obat antigenik
3. Injeksi sejumlah besar obat antigenik (tidak cepat dibersihkan)
4. Sejumlah besar infeksi (contoh, Streptococcus, dengan demam rematik)
5. Autoantigen yang tidak dapat dihindari (contoh., systemic lupus erythematosis -SLE) : sistem imun mengenali DNA sendiri sebagai senyawa asing dan membuat anti-nuclear antibodies (ANA); kompleks Ag/Ab terdeposit pada dinding pembuluh (vasculitis) pada:
1. Persendian dan otot mengakibatkan arthritis and myalgia
2. Ginjal
3. Pembuluh kutan pada wajah menimbulkan topeng merah serigala (Canis lupus)
4. Perikardium, pleura menimbulkan nyeri dada

Pengobatan dan penanganan penderita reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
1. Obat anti-inflamasi\antihistamin
2. Menghindari sejumlah besar antigen dan berhati-hati terhadap immunisasi dan antitoksin.
Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe ini tidak seperti 3 tipe lainnya, dimana reaksi ini dimediasi oleh antibodi, tetapi dimediasi oleh efektor sel T yang spesifik terhadap antigen. Memerlukan waktu sekitar 2-3 hari untuk berkembang. Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tipe Waktu reaksi Penampakan klinis Histologi Antigen dan situs
Kontak 48-72 jam Eksim (ekzema) Limfosit, diikuti makrofag; edema epidermidis Epidermal (senyawa organik, jelatang atau poison ivy, logam berat , dll.)
Tuberkulin 48-72 jam Pengerasan (indurasi) lokal Limfosit, monosit, makrofag Intraderma (tuberkulin, lepromin, dll.)
Granuloma 21-28 hari Pengerasan Makrofag, epitheloid dan sel raksaksa, fibrosis Antigen persisten atau senyawa asing dalam tubuh (tuberkulosis, kusta, etc.)




PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV)
Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.
• Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar.
• Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs
Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.
Reaksi ini dapat terjadi karena :
1. Rusaknya sel atau jaringan akibat penyakit tertentu, seperti TBC, lepra, cacar air, candidiasis, histoplasmosis
2. Reaksi akibat pengujian pada kulit
3. Kontak dengan tanaman penyebab dermatitis
4. Diabetes tipe 1 dimana CTL menghancurkan sel penghasil insulin
5. Sklerosis ganda
6. Adanya reaksi penolakan
7. Kerusakan CTL dari sel pendonor atau sel penerima

Penyakit yang diperantarai sel T
Penyakit Spesifitas sel T patogenik Penyakit pada manusia Contoh pada hewan
Diabetes melitus tergantung insulin (tipe I) Antigen sel islet (insulin, dekarboksilase asam glutamat) Spesifisitas sel T belum ditegakkan Tikus NOD, tikus BB, tikus transgenik
Artritis reumatoid Antigen yang tidak diketahui di sinovium sendi Spesifisitas sel T dan peran antibodi belum ditegakkan Artritis diinduksi kolagen
Ensefalomielitis alergi eksperimental Protein mielin dasar, protein proteolipid Postulat : sklerosis multipel Induksi oleh imunisasi dengan antigen mielin SSP; tikus transgenik
Penyakit inflamasi usus Tidak diketahui, peran mikroba intestinal Spesifisitas sel T belum ditegakkan Induksi oleh rusaknya gen IL-2 atau IL-10 atau kurangnya regulator sel T


Pengobatan
Menggunakan imunosupresan seperti syklosporin A atau FK 506 (Tacolimus) dilakukan untuk menahan reaksi penolakan pada proses transplantasi organ. Kedua obat ini menghalangi proliferasi dan diferensiasi limfosit T dengan menghambat proses transkripsi IL-2. pengobatan dapat pula menggunakan kortikoosteroid.




DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas diakses pada tanggal 03 april 2011
http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/16/reaksi-hipersensitivitas/diakses pada tanggal 03 april 2011
http://www.fpnotebook.com/ent/exam/HyprsnstvtyRctn.html.diakses pada tanggal 03 april 2011

Jumat, 08 April 2011

TINJA

Tinja adalah bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia melalui anus sebagai sisa dari proses pencernaan makanan di sepanjang sistem saluran pencernaan (tractus digestifus). Pengertian tinja ini juga mencakup seluruh bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia termasuk karbon monoksida (CO2) yang dikeluarkan sebagai sisa dari proses pernafasan, keringat, lendir dari ekskresi kelenjar, dan sebagainya .Ekskreta manusia (human excreta) yang berupa feses dan air seni (urine) merupakan hasil akhir dari proses yang berlangsung dalam tubuh manusia yang menyebabkan pemisahan dan pembuangan zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh.
Tinja merupakan hasil dari proses pencernaan makanan. Mulut merupakan saluran pertama yang dilalui makanan. Pada rongga mulut, dilengkapi alat pencernaan dan kelenjar pencernaan untuk membantu pencernaan makanan. Pada faring terdapat klep, yaitu epiglotis yang mengatur makanan agar tidak masuk ke trakea (tenggorokan). Fungsi esophagus adalah menyalurkan makanan ke lambung. Agar makanan dapat berjalan sepanjang esophagus, terdapat gerakan peristaltik sehingga makanan dapat berjalan menuju lambung.
Dinding lambung disusun oleh otot-otot polos yang berfungsi menggerus makanan secara mekanik melalui kontraksi otot-otot tersebut. Selain pencernaan mekanik, pada lambung terjadi pencernaan kimiawi dengan bantuan senyawa kimia yang dihasilkan lambung. Pada usus halus hanya terjadi pencernaan secara kimiawi saja, dengan bantuan senyawa kimia yang dihasilkan oleh usus halus serta senyawa kimia dari kelenjar pankreas yang dilepaskan ke usus halus. Makanan yang berasal dari lambung dan bersuasana asam akan dinetralkan oleh bikarbonat dari pancreas. Makanan yang kini berada di usus halus kemudian dicerna sesuai kandungan zatnya.
Fungsi kolon adalah menyerap air selama proses pencernaan. Tempat dihasilkannya vitamin K, dan vitamin H (Biotin) sebagai hasil simbiosis dengan bakteri usus, misalnya E.coli, membentuk massa feses, mendorong sisa makanan hasil pencernaan (feses) keluar dari tubuh. Pengeluaran feses dari tubuh disebut defekasi.
Anus merupakan lubang tempat pembuangan feses dari tubuh. Sebelum dibuang lewat anus, feses ditampung terlebih dahulu pada bagian rectum. Apabila feses sudah siap dibuang maka otot spinkter rectum mengatur pembukaan dan penutupan anus.
Dalam keadaan normal dua pertiga tinja terdiri dari air dan sisa makanan, zat hasil sekresi saluran pencernaan, epitel usus, bakteri apatogen, asam lemak, urobilin, gas indol, skatol dan sterkobilinogen.
Pada keadaan patologik seperti diare didapatkan peningkatan sisa makanan dalam tinja, karena makanan melewati saluran pencernaan dengan cepat dan tidak dapat diabsorpsi secara sempurna.
Bahan pemeriksaan tinja sebaiknya berasal dari defekasi spontan, jika pemeriksaan sangat diperlukan contoh tinja dapat diambil dengan jari bersarung dari rektum.
Untuk pemeriksaan rutin dipakai tinja sewaktu dan sebaiknya tinja diperiksa dalam keadaan segar karena bila dibiarkan mungkin sekali unsur unsur dalam tinja menjadi rusak. Pemeriksaan tinja terdiri atas pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan kimia.



Jamban Tidak Sehat Dalam ilmu kesehatan lingkungan, dari berbagai jenis kotoran manusia, yang lebih dipentingkan adalah tinja (faeces) dan air seni (urine) karena kedua bahan buangan ini memiliki karakteristik tersendiri dan dapat menjadi sumber penyebab timbulnya berbagai macam penyakit saluran pencernaan.
A. Karakteristik Tinja
Seorang yang normal diperkirakan menghasilkan tinja rata-rata sehari sekitar 83 gram dan menghasilkan air seni sekitar 970 gram. Kedua jenis kotoran manusia ini sebagian besar berupa air, terdiri dari zat-zat organik (sekitar 20% untuk tinja dan 2,5% untuk air seni), serta zat-zat anorganik seperti nitrogen, asam fosfat, sulfur, dan sebagainya. Perkiraan komposisi tinja dapat dilihat pada tabel berikut .
Perkiraan Komposisi Tinja tanpa Air Seni

Komponen Kandungan (%)
Air
Bahan organik (dari berat kering)
Nitrogen (dari berat kering)
Fosfor (sebagai P2O5) (dari berat kering)
Potasium (sebagai K2O) (dari berat kering)
Karbon (dari berat kering)
Kalsium (sebagai CaO) (dari berat kering)
C/N rasio (dari berat kering) 66-80
88-97
5,7-7,0
3,5-5,4
1,0-2,5
40-55
4-5
5-10






Kuantitas Tinja dan Air Seni
Tinja/Air Seni Gram/orang/hari
Berat Basah Berat Kering
Tinja
Air seni 135-270
1.000-1.300 35-70
50-70
Jumlah 1.135-1.570 85-140
Selain kandungan komponen-komponen di atas, pada setiap gram tinja juga mengandung berjuta-juta mikroorganisme yang pada umumnya tidak berbahaya bagi kesehatan/ tidak menyebabkan penyakit. Namun tinja potensial mengandung mikroorganisme patogen, terutama apabila manusia yang menghasilkannya menderita penyakit saluran pencernaan makanan (enteric or intestinal disesases). Mikroorganisme tersebut dapat berupa bakteri, virus, protozoa, ataupun cacing-cacing parasit. Coliform bacteria yang dikenal sebagai Echerichia coli dan Fecal stretococci (enterococci) yang sering terdapat di saluran pencernaan manusia, dikeluarkan dari tubuh manusia dan hewan-hewan berdarah panas lainnya dalam jumlah besar rata-rata sekitar 50 juta per gram .

B. Dekomposisi Tinja
Proses penguraian (decomposition) pada tinja secara alamiah akan berlangsung, sehingga akan berubah menjadi bahan yang stabil, tidak berbau, dan tidak mengganggu. Aktivitas utama dalam proses dekomposisi tersebut adalah :
1. Pemecahan senyawa organik kompleks, seperti protein dan urea, menjadi bahan yang lebih sederhana dan lebih stabil.
2. Pengurangan volume dan massa (kadang-kadang sampai 80%) dari bahan yang mengalami dekomposisi, dengan hasil gas metan, karbon dioksida, amonia, dan nitrogen yang dilepaskan ke atmosfer, bahan-bahan yang terlarut dalam keadaan tertentu meresap ke dalam tanah di bawahnya.
3. Penghancuran organisme patogen yang dalam beberapa hal tidak mampu hidup dalam proses dekomposisi, atau diserang oleh banyak jasad renik di dalam massa yang tengah mengalami dekomposisi.
Bakteri memegang peranan penting dalam dekomposisi. Aktivitas bakteri dapat berlangsung dalam suasana aerobik atau anaerobik. Proses anaerobik tersebut misalnya terjadi pada kakus air (aqua privy), tangki pembusukan (septic tank), atau pada dasar lubang yang dalam. Atau dapat pula terjadi secara aerobik, seperti pada dekomposisi tertentu. Di samping itu, dekomposisi dapat terdiri lebih dari satu tahap, sebagian aerobik dan sebagian lagi anaerobik, tergantung pada kondisi fisik yang ada. Sebagai contoh, proses anaerobik berlangsung dalam septic tank, effuent cair meresap ke dalam tanah melalui saluran peresapan dan meninggalkan banyak bahan organik pada lapisan atas tanah. Bahan organik itu diuraikan secara aerobik oleh bakteri saprofit yang mampu menembus tanah sampai kedalaman 60 cm.

C. PEMERIKSAAN MAKROSKOPIK
Pemeriksaan makroskopik tinja meliputi pemeriksaan jumlah, warna, bau, darah, lendir dan parasit.


JUMLAH
Dalam keadaan normal jumlah tinja berkisar antara 100--250 gram per hari.Banyaknya tinja dipengaruhi jenis makananbila banyak makan sayur jumlah tinja meningkat.Tinja normal mempunyai konsistensi agak lunak dan berbentuk. Pada diare konsistensi menjadi sangat lunak atau cair,sedangkan sebaliknya tinja
yang keras atau skibala didapatkanpada konstipasi. Peragian karbohidrat dalam usus menghasilkantinja yang lunak dan bercampur gas.

WARNA
Tinja normal kuning coklat dan warna ini dapat berubah mejadi lebih tua dengan terbentuknya urobilin lebih banyak. Selain urobilin warna tinja dipengaruhi oleh berbagai jenis makanan, kelainan dalam saluran pencernaan dan obat yang dimakan. Warna kuning dapat disebabkan karena susu, jagung, lemak dan obat santonin. Tinja yang berwarna hijau dapat disebabkan oleh sayuran yang mengandung klorofil atau pada bayi yang baru lahir disebabkan oleh biliverdin dan porphyrin dalam mekonium. Kelabu mungkin disebabkan karena tidak ada urobilinogen dalam saluran pencernaan yang didapat pada ikterus obstruktif, tinja tersebut disebut akholis. Keadaan tersebut mungkin didapat pada defisiensi enzim pankreas seperti pada steatorrhoe yang menyebabkan makanan mengandung banyak lemak yang tidak dapat dicerna dan juga setelah pemberian garam barium setelah pemeriksaan radiologik. Tinja yang berwarna merah muda dapat disebabkan oleh perdarahan yang segar dibagian distal, mungkin pula olehmakanan seperti bit atau tomat. Warna coklat mungkin disebabkan adanya perdarahan dibagian proksimal saluran pencernaan atau karena makanan seperti coklat, kopi dan lain-lain. Warna coklat tua disebabkan urobilin yang berlebihan seperti pada anemia hemolitik. Sedangkan warna hitam dapat disebabkan obat yang yang mengandung besi, arang atau bismuth dan mungkin juga oleh melena.

BAU
Bau normal : beraroma khas, bukan bau busuk. Sedangjan bau tidak normal : Baunya sangat busuk. Dicurigai, ada pembusukan yang tidak normal oleh bakteri di usus. Indol, skatol dan asam butirat menyebabkan bau normalpada tinja. Bau busuk didapatkan jika dalam usus terjadi pembusukan protein yang tidak dicerna dan dirombak oleh kuman. Reaksi tinja menjadi lindi oleh pembusukan semacam itu.Tinja yang berbau tengik atau asam disebabkan oleh peragian gula yang tidak dicerna seperti pada diare. Reaksi tinja pada keadaan itu
menjadi asam. Bau sangat asam biasanya pertanda ada gangguan penyerapan gula atau istilahnya malabsorbsi karbohidrat laktosa. Bau amis kemungkinan infeksi amuba atau jamur. Bau khas dari tinja disebabkan oleh aktivitas bakteri. Bakteri menghasilkan senyawa seperti indole, skatole, dan thiol (senyawa yang mengandung belerang), dan juga gas hidrogen sulfida. Asupan makanan berupa rempah-rempah dapat menambah bau tinja. Terdapat juga beberapa produk komersial yang dapat mengurangi bau tinja.

DARAH
Adanya darah dalam tinja dapat berwarna merah muda, coklat atau hitam. Darah itu mungkin terdapat di bagian luar tinja atau bercampur baur dengan tinja. Pada perdarahan proksimal saluran pencernaan darah akan bercampur dengan tinja dan warna menjadi hitam, ini disebut melena seperti pada tukak lambung atau varices dalam oesophagus. Sedangkan pada perdarahan di bagian distal saluran pencernaan darah terdapat di bagian luar tinja yang berwarna merah muda yang dijumpai pada hemoroid atau karsinoma rektum. Dalam keadaan normal didapatkan sedikit sekali lender dalam tinja. Terdapatnya lendir yang banyak berarti adarangsangan atau radang padadinding usus. Kalau lendir itu hanya didapat di bagian luar tinja, lokalisasi iritasi itu mungkin terletak pada usus besar. Sedangkan bila lendir bercampur baur dengan tinja mungkin sekali iritasi terjadi pada usus halus. Pada disentri, intususepsi dan ileokolitis bisa didapatkan lendir saja tanpa tinja.

PARASIT
Diperiksa pula adanya cacing Ascaris, Ancylostoma dan lain-lain yang mungkin didapatkan dalam tinja.

D. PEMERIKSAAN MIKROSKOPIK
Pemeriksaan mikroskopik meliputi pemeriksaan protozoa, telur cacing, leukosit, eritosit, sel epitel, kristal dan sisa makanan. Dari semua pemeriksaan ini yang terpenting adalah pemeriksaan terhadap protozoa dan telur cacing
Protozoa
Biasanya didapati dalam bentuk kista, bila konsistensi tinja cair baru didapatkan bentuk trofozoit. Telur cacing yang mungkin didapat yaitu Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan sebagainya.


Leukosit
Dalam keadaan normal dapat terlihat beberapa leukosit dalam seluruh sediaan. Pada disentri basiler, kolitis ulserosadan peradangan didapatkan peningkatan jumlah leukosit. Eosinofil mungkin ditemukan pada bagian tinja yang berlendir pada penderita dengan alergi saluran pencemaan.

Eritrosit
Hanya terlihat bila terdapat lesi dalam kolon, rektum atau anus. Sedangkan bila lokalisasi lebih proksimal eritrosit telah hancur. Adanya eritrosit dalam tinja selalu berarti abnormal. Dalam keadaan normal dapat ditemukan beberapa sel epitel yaitu yang berasal dari dinding usus bagian distal. Sel epitel yang berasal dari bagian proksimal jarang terlihat karena sel ini biasanya telah rusak. Jumlah sel epitel bertambah banyak kalau ada perangsangan atau peradangan dinding usus bagian distal.

Kristal
Kristal dalam tinja tidak banyak artinya. Dalam tinja normal mungkin terlihat kristal tripel fosfat, kalsium oksalat dan asam lemak. Kristal tripel fosfat dan kalsium oksalat didapatkan setelah memakan bayem atau strawberi, sedangkan kristal asam lemak didapatkan setelah banyak makan lemak. Sebagai kelainan mungkin dijumpai kristal Charcoat Leydendan kristal hematoidin. Kristal Charcoat Leyden didapat pada ulkus saluran pencernaan seperti yang disebabkan amubiasis. Pada perdarahan saluran pencernaan mungkin didapatkan kristal hematoidin.

Sisa makanan
Hampir selalu dapat ditemukan juga pada keadaan normal, tetapi dalam keadaan tertentu jumlahnya meningkat dan hal ini dihubungkan dengan keadaan abnormal. Sisa makanan sebagian berasal dari makanan daun-daunan dan sebagian lagi berasal dari hewan seperti serat otot, serat elastic dan lain-lain.Untuk identifikasi lebih lanjut emulsi tinja dicampur dengan larutan lugol untuk menunjukkan adanya amilum yang tidak sempurna dicerna. Larutan jenuh Sudan III atau IV dipakai untuk menunjukkan adanya lemak netral seperti pada steatorrhoe. Sisa makanan ini akan meningkat jumlahnya pada sindroma malabsorpsi.



E. PEMERIKSAAN KIMIA TINJA.
Pemeriksaan kimia tinja yang terpenting adalah pemeriksaan terhadap darah samar. Tes terhadap darah samar untuk mengetahui adanya perdarahan kecil yang tidak dapat dinyatakan secara makroskopik atau mikroskopik.
Adanya darah dalam tinja selalau abnormal. Pemeriksaan darah samar dalam tinja dapat dilakukan dengan menggunakan tablet reagens. Prinsip pemeriksaan ini hemoglobin yang bersifat sebagai peroksidase akan menceraikan hidrogen peroksida menjadi air dan 0 nascens (On). On akan mengoksidasi zat warna tertentuyang menimbulkan perubahan warna. Tablet Reagens banyak dipengaruhi beberapa faktor terutama pengaruh makanan yang mempunyai aktifitas sebagai peroksidase sering menimbulkanreaksi positif palsu seperti daging, ikan sarden dan lain lain. Menurut kepustakaan, pisang dan preparat besi seperti ferro fumarat dan ferro carbonat dapat menimbulkan reaksi positif palsu dengan tablet reagens. Maka dianjurkan untuk menghindari makanan tersebut diatas selama 3--4 hari sebelum dilakukan pemeriksaan darah samar.
Test terhadap darah samar penting untuk mengetahui adanya pendarahan kecil yang tidak dapat dinyatakan secara makroskopis dan mikroskopis.
a. Cara dengan Benzidine Basa
1. Buatlah emulsi tinja dengan air atau dengan larutan garam kira-kira 10 ml dan panasi hingga mendidih.
2. Saring emulsi yang masih panas itu dan biarkan filtrat menjadi dingin kembali.
3. Kedalam tabung reaksi lain masukkan benzidine basa sebanyak sepucuk pisau.
4. Tambah 3 ml asam acetat glasial, kocok sampai benzidine larut dengan meninggalkan beberapa kristal.
5. Bubuhi 2 ml filtrat emulsi tinja, campur.
6. Beri 1 ml larutan hidrogen peroksida 3%.
7. Baca hasil dalam waktu 5 menit.
8. Interprestasi hasil :
( - ) tidak ada perubahan warna atau warna yang samar- samar hijau
(+1) hijau
(+2) biru bercampur hijau
(+3) biru
(+4) biru tua


b. Cara dengan Guajac
1. Buat emulsi tinja sebanyak 5 ml dalam tabung reaksi dan tambah 1 ml asam acetat glasial, campur.
2. Dalam tabung reaksi lain masukkan sepucuk pisau serbuk guajac dan 2 ml alkohol 95 %, campur.
3. Tuang dengan hati-hati isi tabung kedua kedalam tabung yang berisi tinja sehingga kedua jenis campuran tetap sebagai lapisan terpisah.
4. Hasil positif terlihat dari warna biru yang terjadi pada kedua lapisan itu.
Pemeriksaan urobilin
1. Taruhlah beberapa gram tinjadalam sebuah mortir dan campur dengan larutan mercuri chlorida 10% yang volumenya sama banyak dengan tinja itu.
2. Campur baik-baik dengan alunya.
3. Tuang bahan itu kedalam cawan datar agar mudah menguap dan biarkan selama 6 sampai 24 jam.
4. Adanya urobilin nyata oleh timbul warna merah.

Pemeriksaan bilirubin akan beraksi negatif pada tinja normal, karena bilirubin dalam usus akan berubah menjadi urobilinogen dan kemudian oleh udara akan teroksidasi menjadi urobilin. Reaksi mungkin menjadi positif pada diare dan pada keadaan yang menghalangi perubahan bilirubin menjadi urobilinogen, seperti pengobatan jangka panjang dengan antibiotik yang diberikan peroral, mungkin memusnakan flora usus yang menyelenggarakan perubahan tadi. Dalam tinja normal selalu ada urobilin. Jumlah urobilin akan berkurang pada ikterus obstruktif, jika obstruktif total hasil tes menjadi negatif, tinja berwarna kelabu disebut akholik.
Penetapan kuantitatif urobilinogen dalam tinja memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan terhadap tes urobilin, karena dapat menjelaskan dengan angka mutlak jumlah urobilinogen yang diekskresilkan per 24 jam sehingga bermakna dalam keadaan seperti anemia hemolitik dan ikterus obstruktif. Tetapi pelaksanaan untuk tes tersebut sangat rumit dan sulit karena itu jarang dilakukan di laboratorium. Bila masih diinginkan penilaian ekskresi urobilin dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan urobilin urine.