HIPERSENSITIFITAS
Hipersensitivitas atau yang biasa disebut reaksi hipersensitivitas adalah reaksi berlebihan, tidak diinginkan yang dapat merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat fatal yang dihasilkan oleh sistem kekebalan normal. Berdasarkan mekanisme dan waktu yang dibutuhkan untuk reaksi, hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe: tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Penyakit tertentu dapat dikarenakan satu atau beberapa jenis reaksi hipersensitivitas.
Hipersensitivitas Tipe III ( Reaksi Kompleks Imun )
Kompleks imun terbentuk setiap kali antibody bertemu dengan antigen, tetapi dalam keadaan normal pada umumnya kompleks ini segera disingkirkan secara efektif oleh jaringan retikuloendotel, tetapi ada kalanya pembentukan kompleks imun menyebabkan reaksi hipersensitivitas.
Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis besar dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :
1. Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody yang lemah, menimbulakn pembentukan kompleks imun kronis yang dapat mengendap di berbagai jaringan.
2. Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi secara terus menerus yang berikatan dengan jaringan self.
3. Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru – paru, akibat terhirupnya antigen secara berulang kali.
Pemaparan pada antigen dalam jangka panjang dapat merangsang pembentukan antibody yang umumnya tergolong IgG dan bukan IgE seperti halnya pada reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada reaksi hipersensitivitas tipe III, antibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen antibodi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sistem komplemen, menyebabkan pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks. Dilain pihak proses itu juga merangsang PMN sehingga sel–sel tersebut melepaskan isi granula berupa enzim proteolitik diantaranya proteinase, kolegenase, dan enzim pembentuk kinin. Apabila kompleks antigen-antibodi itu mengendap dijaringan, proses diatas bersama–sama dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak jaringan sekitar kompleks. Reaksi ini dapat terjadi saat terdapat banyak kapiler twisty (glomeruli ginjal, kapiler persendian).
Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja bergantung pada jumlah absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung pada perbandingan relatif antara kadar antigen dengan antibodi. Dalam suasana antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi yang ditimbulkannya adalah kelainan setempat infiltrasi hebat dari sel – sel PMN, agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan edema. Reaksi ini disebut Reaksi Arthus.
Agregasi trombosit dapat meningkatkan penglepasan vasoactive-amine atau mungkin juga menimbulkan mikrotumbus yang berakibat iskemia local. Dalam suasana antigen yang berlebih, kompleks yang terbentuk adalah kompleks yang larut dan beredar dalam sirkulasi serum sickness atau terperangkap di berbagai jaringan diseluruh tubuh dan menimbulkan reaksi inflamasi setempat seperti pada glomerulo-nefritis dan arthritis. Tempat pengendapan kompleks yang berbeda dapat memunculkan manifestasi klinis yang berbeda pula.
Meskipun demikian, pengendapan setempat juga dapat menimbulkan reaksi inflamasi sistemik seperti:
1. Demam, nyeri, malaise
2. Gatal, edema
3. Pengurangan komplemen di dalam darah
4. Glomerulonephritis (ginjal)
5. Arthritis (persendian)
6. Rheumatik penyakit jantung
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
A. Ukuran kompleks imun
Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit, kompleks imun harus mempunyai ukuran yang sesuai. Kompleks imun berukuran besar biasanya dapat disingkirkan oleh hepar dalam waktu beberapa menit, tetapi kompleks imun berukuran kecil dapat beredar dalam sirkulasi untuk beberapa waktu. Ada dugaan bahwa efek genetic yang memudahkan produksi antibody dengan afinitas rendah dapat menyebabkan pembentukan kompleks imun berukuran kecil, sehingga individu bersangkutan mudah menerima penyakit kompleks imun.
B. Kelas imunoglobulin
Pembersihan (clearance) kompleks imun juga dipengaruhi oleh kelas immunoglobulin yang membentuk kompleks. Kompleks IgG mudah melekat pada eritrosit dan dikeluarkan secara perlahan–lahan dari sirkulasi, tetapi tidak demkian halnya dengan IgA yang tidak mudah melekat pada eritrosit dan dapat disingkirkan cepat dari sirkulasi, dengan kemungkinan pengendapan dalam berbagai jaringan misalnya ginjal, paru-paru, dan otak.
C. Aktivasi Komplemen
Salah satu factor penting lain yang turut menentukan manifestasi klinik adalah berfungsinya aktivasi komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi komplemen melalui jalur klasik dapat mencegah penegendapan kompleks imun karena C3b yang terbentuk dapat menghambat pembentukan kompleks yang besar. Kompleks yang terikat pada C3b akan melekat pada eritrosit melalui reseptor C3b, lalu dibawa ke hepar mana kompleks itu dihancurkan oleh makrofag. Bila system ini terganggu, misalnya pada defisiensi komplemen, maka kompleks diatas akan membentuk kompleks yang berukuran besar dan memungkinkan ia terperangkap diberbagai jaringan atau organ. Telah diketahui bahwa kompleks imun yang paling merusak apabila ia mengendap atau terperangkap dalam jaringan.
D. Permeabilitas pembuluh darah
Yang paling penting dalam kompleks imun adalah peningkatan permeabilitas vaskular. Peningkatan permeabilitas vascular dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya oleh peningkatan pelepasan vasoactive amine. Semua hal yang berkaitan dengan penglepasan substansi ini harus dipertimbangkan, misalnya komplemen, mastosit, basofil, dan trombosit yang dapat memberikan kontribusinya pada peningkatan permeabilitas vascular.
E. Proses hemodinamik
Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-tempat dengan tekanan darah tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks imun mengnedap dalam glomerulus dimana tekanan darah meningkat hingga 4 kali dan dalam dinding percabangan arteri dan ditempat-tempat terjadinya filtrasi, seperti pada pleksus choroids dimana tempat turbelensi.
F. Afinitas antigen pada jaringan
Ada beberapa jenis kompleks imun yang memilih mengendap di tempat – tempat tertentu, misalnya untuk SLE, sasaran pengendapan kompleks imun adalah ginjal. Pada arthritis rheumatoid kompleks imun lebih suka mengendap dalam sendi dan walaupun selalu ada kompleks imun dalam sirkulasi, ia tidak mengendap di ginjal. Hal ini ditentukan oleh afinitas antigen terhadap organ tetentu.
Prekursor umum reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
1. Sensitisasi sel B dengan sejumlah besar antigen disajikan dalam waktu lama
2. Infusi intravena obat antigenik
3. Injeksi sejumlah besar obat antigenik (tidak cepat dibersihkan)
4. Sejumlah besar infeksi (contoh, Streptococcus, dengan demam rematik)
5. Autoantigen yang tidak dapat dihindari (contoh., systemic lupus erythematosis -SLE) : sistem imun mengenali DNA sendiri sebagai senyawa asing dan membuat anti-nuclear antibodies (ANA); kompleks Ag/Ab terdeposit pada dinding pembuluh (vasculitis) pada:
1. Persendian dan otot mengakibatkan arthritis and myalgia
2. Ginjal
3. Pembuluh kutan pada wajah menimbulkan topeng merah serigala (Canis lupus)
4. Perikardium, pleura menimbulkan nyeri dada
Pengobatan dan penanganan penderita reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
1. Obat anti-inflamasi\antihistamin
2. Menghindari sejumlah besar antigen dan berhati-hati terhadap immunisasi dan antitoksin.
Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe ini tidak seperti 3 tipe lainnya, dimana reaksi ini dimediasi oleh antibodi, tetapi dimediasi oleh efektor sel T yang spesifik terhadap antigen. Memerlukan waktu sekitar 2-3 hari untuk berkembang. Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tipe Waktu reaksi Penampakan klinis Histologi Antigen dan situs
Kontak 48-72 jam Eksim (ekzema) Limfosit, diikuti makrofag; edema epidermidis Epidermal (senyawa organik, jelatang atau poison ivy, logam berat , dll.)
Tuberkulin 48-72 jam Pengerasan (indurasi) lokal Limfosit, monosit, makrofag Intraderma (tuberkulin, lepromin, dll.)
Granuloma 21-28 hari Pengerasan Makrofag, epitheloid dan sel raksaksa, fibrosis Antigen persisten atau senyawa asing dalam tubuh (tuberkulosis, kusta, etc.)
PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV)
Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.
• Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar.
• Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs
Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.
Reaksi ini dapat terjadi karena :
1. Rusaknya sel atau jaringan akibat penyakit tertentu, seperti TBC, lepra, cacar air, candidiasis, histoplasmosis
2. Reaksi akibat pengujian pada kulit
3. Kontak dengan tanaman penyebab dermatitis
4. Diabetes tipe 1 dimana CTL menghancurkan sel penghasil insulin
5. Sklerosis ganda
6. Adanya reaksi penolakan
7. Kerusakan CTL dari sel pendonor atau sel penerima
Penyakit yang diperantarai sel T
Penyakit Spesifitas sel T patogenik Penyakit pada manusia Contoh pada hewan
Diabetes melitus tergantung insulin (tipe I) Antigen sel islet (insulin, dekarboksilase asam glutamat) Spesifisitas sel T belum ditegakkan Tikus NOD, tikus BB, tikus transgenik
Artritis reumatoid Antigen yang tidak diketahui di sinovium sendi Spesifisitas sel T dan peran antibodi belum ditegakkan Artritis diinduksi kolagen
Ensefalomielitis alergi eksperimental Protein mielin dasar, protein proteolipid Postulat : sklerosis multipel Induksi oleh imunisasi dengan antigen mielin SSP; tikus transgenik
Penyakit inflamasi usus Tidak diketahui, peran mikroba intestinal Spesifisitas sel T belum ditegakkan Induksi oleh rusaknya gen IL-2 atau IL-10 atau kurangnya regulator sel T
Pengobatan
Menggunakan imunosupresan seperti syklosporin A atau FK 506 (Tacolimus) dilakukan untuk menahan reaksi penolakan pada proses transplantasi organ. Kedua obat ini menghalangi proliferasi dan diferensiasi limfosit T dengan menghambat proses transkripsi IL-2. pengobatan dapat pula menggunakan kortikoosteroid.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas diakses pada tanggal 03 april 2011
http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/16/reaksi-hipersensitivitas/diakses pada tanggal 03 april 2011
http://www.fpnotebook.com/ent/exam/HyprsnstvtyRctn.html.diakses pada tanggal 03 april 2011
Minggu, 24 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar